Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Cinta Harapan dan Keterbatasan Keuangan

Saya tidak tahu apa yang salah dengan situasi ekonomi ini?? Mungkin saya kurang memahaminya ...

atau mungkin dari awal kami, saya dan suami, memang belum sejalan. Semuanya bermula dari saat suami mengajak saya menikah. Kami mulai berkomunikasi pada bulan Mei dan menikah pada bulan Desember. 

antara cinta harapan dan keterbatasan keuangan
Saat itu, saya mengenalnya sebagai kakak kelas dari masa ketika saya duduk dibangku kuliah, dan sebelumnya kami tidak pernah berkomunikasi. Ketika beliau datang ke rumah dan langsung untuk melamar saya tepat di depan orangtua.

Saya dan keluarga berpikir bahwa dia sudah siap dan mantap. Sebelum menerima lamaran, saya mengajukan banyak pertanyaan mengenai tempat tinggal kami, pekerjaan saya (karena kami berbeda kabupaten yang berjarak 3 jam), pekerjaan dia, hutangnya dan tanggung jawab saya. Pada saat itu, saya merasa nyaman dengan keadaan saya.

Pada tahun 2021, saya mengundurkan diri dari pekerjaan, pulang kampung dan sakit hingga tabungan habis. 

Pada tahun 2022, saya sibuk mencari pekerjaan yang dekat dari rumah, dan akhirnya mendapat pekerjaan yang hanya berjarak belasan menit dari rumah. 

Pada tahun 2023, saya merasa keuangan saya mulai stabil, sehingga saya berani mendaftar kuliah di UT untuk melanjutkan pendidikan dari D3 ke S1. Saat itu, saya mulai merasakan hidup yang lengkap bersama orangtua, bukan lagi sebagai beban tetapi juga dapat membantu kebutuhan keluarga. 

Ketika saya setuju untuk menikah dengan suami, kami akhirnya mengambil keputusan bersama. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan dan mengikuti suami karena pekerjaan beliau. 

Mengenai rumah, kami tidak memiliki rencana untuk membeli rumah baru, keluarga saya meminta kami untuk merawat rumah orangtua saya. Saya juga menegaskan bahwa saya ingin melanjutkan kuliah (saat itu saya sudah menjalani semester satu)

Jadi saya membawa beban itu untuk suami, saya selalu melaporkan berapa biaya yang keluar tiap semesternya. Saya juga tahu berapa hutang/tanggungan suami tiap bulannya. 

Waktu saya tanyakan :

Apakah masih sanggup jika saya melanjutkan kuliah? Beliau menjawab Sanggup, InsyaAllah
Saya mengajukan pertanyaan seperti itu karena memang keinginan suami saya, Saya mengikuti beliau dengan tidak bekerja secara formal dan tinggal di rumah.

Pada awalnya saya agak keberatan karena khawatir akan merasa bosan di rumah. Sebab saya sudah terbiasa bekerja dan memiliki aktivitas rutin selama 6 tahun. 

Jadi saya meminta, "Tapi jika nanti ternyata aku merasa bosan, bolehkah aku meminta izin untuk bekerja?"

Suami menjawab, "Silakan", tetapi jam kerjanya harus lebih pendek daripada suami.

Dengan menyebut nama Allah, saya memutuskan untuk mengikuti suami. Pindah ke tempat tinggal suami yang asing bagi saya, bahkan saya agak kesulitan dengan bahasanya. Saya sudah mempersiapkan diri untuk melakukan berbagai aktivitas di rumah jika nanti merasa bosan ketika ditinggal suami bekerja. Hanya itu yang ada dalam pikiran saya sebelumnya.

Namun, baru 3 hari setelah menikah, "suami justru baru jujur mengenai hal yang saya sesali kenapa tidak dibicarakan dari awal". Jadi ketika kami masih dalam momen memiliki banyak uang, beliau mengatakan bahwa untuk biaya pernikahan kita, beliau mengambil pinjaman.

Saya tahu pinjaman dia sebelumnya cukup besar, katanya harus dilunasi pada Agustus 2024. Tapi sekarang ditambah lagi? 

Saat itu saya tidak marah, namun saya hanya diam, Beliau malah bercanda, yang sebenarnya agak menyinggung perasaan... 

Beliau berkata:  

Jika saya tidak mengambil pinjaman uang, tentu saja tidak bisa menikahimu!

"Kamu menyesal sekarang? terus mau pulang ke rumah orangtua mu?, katanya"

Saat itu saya hanya terdiam, saya memeluknya dengan lembut. Saya mengatakan bahwa, Berarti kita harus berhemat sampai Agustus.

Ternyata tidak semudah yang dibayangkan

Bulan Desember

Uang kondangan saya dan suami digabungkan, nominalnya hampir seimbang. Beberapa juta saya sisihkan untuk tambahan uang dapur untuk acara di rumah saya. Sebenarnya itu harusnya uang dapur dari pihak mempelai laki-laki, tapi saya membulatkannya agar sedikit meringankan orangtua saya. 

Kami menggunakan beberapa juta lagi untuk modal warung, agar bisa menjadi kesibukan saya juga, Namun untuk acara syukuran di tempat suami ternyata belum beres. jadi kami menggunakan uang kondangan kami untuk melunasinya. 

Sampai hanya tersisa sekitar 2 juta. Sebenarnya saya sangat ingin menyimpan itu untuk membayar kuliah, karena Maret sudah masuk semester baru. Tapi akhirnya susah mempertahankan uang terakhir kami. 

Ternyata suami juga memiliki hutang kepada teman untuk transportasi ke rumah saya saat acara. Jadi baru Desember, belum sebulan uang sumbangan habis. Tidak ada yang bisa saya gunakan untuk makan enak atau jalan-jalan berdua.

Padahal jika dipikir, itu ada uang saya pribadi, tapi rasanya saya banyak mengeluarkan uang di sini. Saya mencoba ikhlas. Sampai sekarang belum pernah saya ungkapkan kepada suami bahwa sebenarnya saya keberatan.

Bulan Januari

Kami hidup di sini dengan tunjangan akhir tahun dari suami. Dengan adanya 2 angsuran besar yang langsung dipotong otomatis saat pembayaran gaji. Uang yang tersisa untuk kebutuhan bulanan setiap bulannya ada 600-700 ribu. 

Di sini saya baru menyadari bahwa ini akan sulit jika diteruskan. Dari uang itu, suami masih memberikan uang bulanan kepada orang tuanya. 

Saya tidak pernah melarangnya. Saya malah yang pertama kali bertanya, sebelumnya berapa yang diberikan kepada Ibu? Jika bisa, jangan kurangi nominal dari sebelum kita menikah.

Jadi semua sisa uang sekitar 500 ribu diberikan kepada saya setiap bulannya. Ini untuk kebutuhan listrik 2 rumah, PDAM 2 rumah, wifi, bensin suami, dan makan berdua. Saya sudah membayangkan, apakah kita mungkin bertahan sampai bulan Agustus 2024?

Bulan Februari

Di sini kami sudah sering bertengkar, terutama akhir bulan entah kenapa? Seringnya saya yang menangis dengan dengan banyak drama. dan obrolan jika saya tidak betah ingin pulang ke rumah orangtua, ingin mengajak suami pindah ke sana, sudah mulai muncul.

Saya terus mengajak ke rumah orangtua saya karena di daerah kabupaten saya lebih ramai, UMK lebih tinggi, akses ke tempat strategis lebih mudah. Saya sampai bilang bahwa sebenarnya gaji terakhir saya lebih besar dari gajinya sekarang. 

Untuk meyakinkan beliau bahwa memang upah di sana lebih baik. Untuk rumah memang pilihannya menumpang di orangtua saya, tapi kami di sini juga sama saja menumpang di rumah milik ipar yang merantau, sering campur juga dengan mertua dan ipar karena sering menginap. 

Bahkan jika dipikirkan lagi, kedua orangtua saya masih bisa bekerja, jadi kebutuhan rumah bisa dibagi dua keluarga. Kami nanti juga bisa menemani ibu saya merawat adik saya yang disabilitas. Saya pikir banyak positifnya di sana ketimbang di sini.

Tapi suami masih belum mau. Sama belum siap juga. Karena jika mengundurkan diri dari pekerjaannya sebelum menjadi karyawan tetap, akan dikenakan denda 7,5 juta rupiah. 

Tadinya saya pikir harus genap 2 tahun kontrak dulu baru bisa keluar tanpa denda, tapi ternyata harus menjadi karyawan tetap dulu. Beliau merinci prosesnya, paling lancar baru bisa keluar akhir tahun 2024.

Oh iya, di bulan ini kami hidup menggunakan uang mahar saya 800 ribu rupiah. Awal Maret semua uang mahar saya habis untuk kebutuhan. Tapi tenang, suami saya itu sebenarnya baik, dia berjanji kepada saya bahwa akan mengganti uang mahar saya.

Dan setelah diperiksa ulang, pinjaman pertama suami baru selesai di Agustus 2025 bukan Agustus 2024😂. Pinjaman kedua 3 tahun setelahnya. 

Semenjak itu saya sudah mulai mencari-cari lowongan kerja di daerah saya. Karena suami sebenarnya juga ingin mengundurkan diri dari bank, tempat kerjanya itu.

Obrolan puncak kami yang paling dramatis, mungkin karena sudah merasa sulit, saya meminta suami nekat saja keluar kerja. Kita pulang ke rumah orangtua saya langsung bekerja berdua. Agar bisa menutup angsuran juga mengganti uang denda. 
Tapi suami malah bilang, Aku itu ingin juga mengundurkan diri dari bank, tapi memberi uang denda begitu saja kepada orang yang sudah punya uang, padahal kita sendiri tidak punya. Apa kamu tidak sayang? 

Kalau kamu mau kita pindah aku akan mengundurkan diri, ayo, aku akan mengundurkan diri. Tapi solusinya kamu yang pikirkan, denda dan pekerjaan penggantinya.

Jadi waktu itu saya langsung mencari info lowongan kerja di daerah asal saya. Untungnya, saya juga masih punya teman baik yang bisa membantu saya meminjami uang, meskipun nominalnya besar 7,5 juta rupiah.

Bulan Maret

Kami menyempatkan pulang ke rumah orangtua saya awal Ramadhan. Ongkosnya menggunakan sisa mahar saya tadi. Di sini kami bahagia. Jujur, jika tidak memikirkan hutang, saya sangat menyayangi suami dan kami bisa sangat akur dan mesra.💓

Sampai akhirnya ada informasi lowongan kerja di daerah saya. Menjadi staf di pabrik asing yang cukup besar. Saya tahu yang penting bagi suami bukan bank, mungkin beliau kapok bekerja di bank. Jadi saya semangat untuk langsung menyampaikan.

Tapi diam tak bergeming, menanyakan posisi apa?, pekerjaannya bagaimana? atau mulai bekerja kapan?  beliau tidak pernah untuk mau menanyakannya.

Ternyata saya masih disuruh bersabar sampai akhir tahun, menunggu menjadi karyawan tetap agar tidak membayar denda. Saya sedih, kesal karena pembicaraannya kembali lagi ke arah situ. Padahal terakhir beliau bilang menyuruh saya mencari solusi untuk denda dan pekerjaan pengganti. 

Saya sampai bertanya ke sana ke mari untuk mencari pekerjaan dan pinjaman. Padahal saya melaksanakan betul apa yang beliau katakan. Saya sampai bilang, denda itu urusan saya karena saya yang meminta. Jadi saya akan bekerja pertama untuk melunasi pinjaman denda itu. Karena memang suami tidak mau menanggung jika membayar denda.

Semalam saya menangis, padahal sore kami masih mesra buka puasa bersama.
Setelah sahur, saya sampaikan kepada suami bahwa saya sedih dan kesal. Aku harus bagaimana? ....

Kondisi kita tidak baik-baik saja. Apalagi gaji bulan ini kita hanya memiliki 300 ribu sambil menunggu THR turun. THR pasti habis untuk kebutuhan lebaran. Apa tidak ingin memberikan kepada Ibu? Keponakan? Seperti biasanya Mas dulu bagaimana? Setelah lebaran kita bertahan dengan apa lagi?

Kita sudah tidak punya uang simpanan lagi mas

Uang kondangan nikahan sudah habis dari dulu. Uang mahar juga habis. Warung sudah kosong karena kita tidak bisa mengambil modalnya untuk diputar. Kita mau bergantung dengan apa lagi?😞

Ayo, aku tahu Mas tidak ingin mengajak aku susah dan ingin bertanggung jawab penuh. Aku tahu kamu pasti juga ingin berusaha keras. Makanya aku membantu, ayo setelah ini kita bekerja bersama. Biarlah hanya saya dan keluargaku saja yang tahu kesulitannya, jangan Ayah Ibu pun tau kondisi kita.

Akhirnya suami bilang, jika memang ingin mengundurkan diri, paling cepat setelah lebaran ada prosedur jadi mungkin baru bisa bekerja di tempat baru akhir Mei.

Saya sendiri sudah mendapat tawaran pekerjaan di tempat kerja saya yang terakhir. Bahkan bisa langsung bekerja setelah lebaran. Ketika saya tanya soal teman yang memberi info lowongan, ternyata di sana membutuhkan orang dengan cepat.

Suaminya belum mengajukan pengunduran diri? Lebih baik mengundurkan diri saja dulu, kan nanti ada waktu tunggu 1 bulan biasanya itu nanti baru melamar lagi. Biasanya nanti setelah lebaran juga ada lowongan lagi.

Saya agak was-was sebenarnya jika seperti itu. Masalahnya mengundurkan diri dulu, sudah membayar uang denda, tetapi jika tidak kunjung mendapat pekerjaan pasti akan sulit juga. Apalagi ada tanggungan 2 angsuran yang kami bawa.

Saya positif meminta suami mengundurkan diri juga bukan tanpa alasan, bekerja dari jam 7:30 sampai 17:00. Sampai rumah sudah Maghrib karena memang jauh.
Gajinya pas dengan UMK daerah, ada jaminan BPKB kendaraan dan uang saat masuk kerja, yang katanya baru bisa diambil 3 bulan setelah mengundurkan diri.

Akhir bulan pun pulangnya malam. Paling malam jam 2 pagi, yang besoknya masih masuk kerja lagi. Nanti ini juga suami akan pulang malam, tidak tahu jam berapa. Saya selalu menangis jika beliau pamit pulang lembur. Kasihan ... bekerja sekeras itu tetapi penghargaan yang dia dapat tidak seberapa menurut saya.

Jika ada yang bertanya kenapa saya tidak bekerja di sini saja. Pertama, karena memang jarak ke kota di sini jauh, harus ada kendaraan sendiri, motor saya dulu tidak sanggup dibawa ke medan di sini. 

Jika bekerja di swasta pun tidak akan mencapai UMK, tidak sebanding dengan jarak tempuh dan tenaga (menurut saya). Karena suami bercerita, menjaga toko di tengah kota pun digaji 800 ribu masih mau diterima. Jadi gaji 1 juta di sini masih terhitung besar.

Kedua, saya tidak ingin terikat di sini lama, paling 1-2 tahun saja. Tujuan kami datang ke sini awalnya karena pekerjaan suami yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi jika kondisinya seperti ini, ya lebih baik kami pindah lebih awal.

Sekarang saya sedang bingung bagaimana mengatakannya kepada suami😔
Jika mencari kerja, sepertinya memang rata-rata musim seperti ini kebutuhannya cepat. Jadi harus mengundurkan diri dulu baru mencari kerja. Apakah beliau setuju, mau diajak nekat lagi atau tidak?

Saya sendiri tahu keluar sebelum mendapat pekerjaan pengganti itu sangat berisiko. Apalagi nanti statusnya beliau ikut mertua, sebagai suami, masak saya yang bekerja beliau masih keliling mencari-cari. 

Meskipun orangtua saya tidak akan menuntut apa pun, tapi beban suami pasti besar. Aku yakin, di balik sikapmu yang tenang, kamu pasti memikirkannya keras dan sudah babak belur lebih parah dari aku, Sayang😍. 

Tapi jika tidak seperti ini, bagaimana lagi kita bisa bergerak?

Posting Komentar untuk "Antara Cinta Harapan dan Keterbatasan Keuangan"

close